Tolak Kenaikan Tarif Listrik 2022, BHS: PLN Harus Diaudit |
DNN, JAKARTA – Anggota Dewan Pakar DPP Partai Gerindra, Bambang Haryo Soekartono bereaksi keras terhadap rencana Pemerintah untuk menaikkan tarif listrik di hampir semua golongan pada 2022 mendatang.
Dihubungi melalui HP-nya, Jumat (24/12/2021) siang tadi, politisi yang lebih akrab dengan panggilan BHS itu menyebut rencana kenaikan tarif tersebut sangat tidak masuk akal dan membebani masyarakat.
Menurutnya kenaikan ini akan menimbulkan efek domino yang luar biasa terhadap dunia usaha yang akhir – akhir ini mengalami kesulitan karena pandemi covid-19 serta penurunan daya beli masyarakat.
Ia menjelaskan Indonesia punya sumber energi listrik dan energi alternatif yang sangat besar dan melimpah. Salah satunya adalah batu bara yang saat ini digunakan sendiri dan bahkan sebagian besar lainnya diekspor ke berbagai negara, seperti ke Vietnam dan China
Selain itu Indonesia juga penghasil minyak bumi dan gas terbesar di Asia Tenggara, penghasil kelapa sawit terbesar di dunia yang bisa menjadi sumber energi alternatif. Begitu juga dengan adanya ribuan air terjun dari sekitar 250 gunung yang merupakan sumber air nomor 5 terbesar di dunia yang kesemuanya bisa dijadikan sumber penghasil listrik.
Bambang Haryo Soekartono (Foto: Liputan 6.com) |
Selain itu, 50% energi panas bumi dunia ada di Indonesia dan juga masih memiliki bahan baku energi nuklir yaitu uranium yang sangat melimpah di Indonesia. Pun demikian dengan sinar matahari yang sangat terik selama 12 jam perhari merupakan energi alternatif yang sangat potensial untuk menghasilkan listrik di Indonesia.
“Tapi kenapa tarif listrik di negara lain justru lebih rendah daripada Indonesia. Saya contohkan, di Vietnam tarifnya 8,2 sen/kwh dan di China 8,6 sen/kwh,” jelas anggota DPR-RI periode 2014-2019 itu.
Lebih lanjut Alumnus ITS Surabaya itu menjelaskan, jika melihat potensi tersebut tarif listrik di Indonesia harusnya sangat murah dan bahkan mendekati nol rupiah seperti halnya negara – negara penghasil sumber energi listrik dan energi alternatif lainnya.
Mengutip data yang dirilis dari global princes.com, Sudan, negara penghasil minyak terbesar nomor 3 dunia, mematok 0,2 sen/kwh. Lalu Iran yang hanya punya minyak bumi nomor 3 dunia berani menetapkan tarif listrik untuk warganya sebesar 0,4 sen/kwh.
Pun demikian Suriname 1,5 sen/kwh (hanya penghasil minyak), Burma 3,4 sen/kwh (menggunakan PLTA), Kazakhtan 4,1 sen/kwh (menggunakan batu bara), Arab 4,8 sen/kwh (hanya menggunakan minyak), Malaysia 5,2 sen/kwh (dengan bahan baku energi air), Laos 4,7 sen/kwh(menggunakan PLTA).
Sedangkan di Indonesia yang mempunyai berbagai macam sumber energi dengan jumlah yang melimpah, tarif listriknya malah ditetapkan sebesar 11 sen/kwh. Menurutnya harusnya PLN sudah mendapatkan keuntungan yang sangat besar bila bisa memanfaatkan sumber energi tersebut bersama-sama dengan pemerintah.
Disisi lain, BHS juga mensinyalir adanya pembohongan publik terkait penerapan tarif listrik tersebut. Ia bahkan menduga biaya yang dikenakan PLN pada pelanggannya diatas 50 sen/kwh yang merupakan tarif termahal di seluruh dunia.
Indikasinya, untuk rumah tangga di Indonesia yang menggunakan dua unit AC, rata-rata harus membayar tagihan listrik sebesar Rp 600 ribu per bulan. Sedangkan di Jepang, dengan penggunaan alat yang sama, biayanya 2.126 Yen atau sekitar Rp 267 ribu. “Itupun biasanya digunakan selama 24 jam penuh di musim panas,” tambah BHS.
Padahal tarif listrik di Jepang ditetapkan sebesar 24,8 sen/kwh. Jauh lebih tinggi dari Indonesia karena mereka tidak memiliki sumber energi listrik dan bahkan membeli gas dari Indonesia.
“Karena itu PLN harus diaudit oleh lembaga independen yang ditunjuk masyarakat. Selain itu rencana kenaikan tarif listrik mulai awal tahun 2022 harus ditolak,” tegas BHS yang juga dipercaya sebagai Ketua Dewan Penasehat Partai Gerindra Jatim tersebut.
Dan bila pembohongan publik itu terbukti, maka PLN dan pemerintah harus bertanggung jawab atas beban biaya yang sudah ditanggung oleh masyarakat dan dunia usaha yang mengakibatkan terpuruknya ekonomi yang ada di Indonesia saat ini.(pram/hans)