DNN, SIDOARJO – Dibekukannya program Universal Healt Coverage (UHC) di Kabupaten Sidoarjo sejak awal 2022 lalu menimbulkan dampak negatif yang merugikan warga kota delta, khususnya yang kurang mampu.
Salah satunya adalah Suhaimi, warga Kecamatan Taman yang kini bermukim di wilayah Kecamatan Sukodono. Ia terpaksa harus kalang-kabut soal biaya pengobatan setelah kepesertaannya sebagai Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan dinonaktifkan.
Ia yang ditemui Jumat (14/01/2022) siang tadi berkisah, saat putrinya mengalami kejang-kejang karena panas tinggi, Suhaimi terpaksa harus membawanya ke salah satu Rumah Sakit Swasta yang terdekat dengan tempat tinggalnya.
“Soalnya Puskesmas tutup karena memang sudah malam. Saya tidak berani membawa ke RSUD karena jauh. Khawatir terjadi apa-apa pada anak saya. Jadi saya bawa kesini saja untuk mendapatkan pertolongan secepatnya,” katanya.
Saat di IGD itulah, petugas Rumah Sakit sempat mengecek status BPJS-nya yang ternyata sudah dinon-aktifkan per 1 Januari 2022. “Kecewa juga, karena kami memang tidak punya simpanan uang untuk biaya rumah sakit. Tapi demi anak, mau nggak mau harus ikut jalur umum,” imbuh bapak dari 3 anak itu.
Pekerja di salah satu perusahaan itupun harus memeras otak untuk mendapatkan uang karena setelah mendapatkan perawatan di IGD, putrinya tersebut harus menjalani opname untuk menjalani perawatan medis hingga tuntas.
Menyikapi hal itu, Ketua BPJS Watch Jatim, Arief Supriyono yang dihubungi melalui telepon selulernya mengatakan sudah menduga akan timbulnya ekses tersebut. “Soalnya, program itu sudah jalan di tahun sebelumnya,” ujarnya.
Masalah semakin bertambah runyam lantaran sudah banyak warga Sidoarjo yang mendapatkan Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang menjadi bukti kepesertaan mereka dalam BPJS Kesehatan dengan status Penerima Bantuan Iuran Daerah (PBID) dari Pemkab Sidoarjo.
“Inilah yang jadi masalah di masyarakat. Gampang saja Pemkab bilang tetap gratis hanya dengan menunjukkan KTP, tapi di lapangan tidak semudah itu. Soalnya Puskesmas hanya beroperasi mulai pagi sampai sore saja. Sedangkan kalau ke RSUD juga repot kalau kondisi pasiennya sudah darurat seperti itu,” ucap Arief.
Menurutnya, dalam hal ini seharusnya Pemkab dan juga DPRD Sidoarjo tidak main-main karena menyangkut nyawa warganya yang mengalami kondisi kedaruratan. Belum lagi warga yang butuh perawatan medis secara berkala, seperti penderita diabetes, jantung, kanker, gagal ginjal dan sebagainya
Ia meminta pemerintah Sidoarjo mengkaji kembali kebijakannya ini sebelum mampu menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai dari sisi kualitas dan kuantitas. “Coba ditelaah lagi, seberapa besar daya tampung RSUD dibandingkan jumlah warga Sidoarjo. Belum lagi jika sampai ada wabah seperti DB (Demam Berdarah-red) dan sebagainya,” tukasnya.
Dan lagi, tambah Arief, regulasinya juga sudah sangat jelas. Ia menuturkan, UU Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS, khususnya pasal 4 dan 14 yang menyatakan setiap warga negara Indonesia wajib menjadi peserta BPJS Kesehatan.
Selanjutnya di pasal 4 dan pasal 14 Perpres 82/2018 tentang jaminan kesehatan tersurat bahwa penduduk yang belum terdaftar sebagai peserta jaminan kesehatan dapat didaftarkan oleh Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota ke BPJS Kesehatan sebagai satu-satunya provider yang dibentuk pemerintah RI.
Karena itu, pemerintah mengeluarkan regulasi dalam bentuk Permendagri No 33/2019 tentang pedoman penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Di lampiran 1 halaman 45 regulasi itu disampaikan larangan bagi pemerintah daerah untuk mengelola sendiri jaminan kesehatan daerahnya yang memiliki manfaat serupa dengan Jaminan Kesehatan Nasional.
Kalimat senada juga muncul dalam lampiran 1 halaman 42-43 Permendagri 64/2020. “Jadi piranti aturannya sudah jelas dan itu tak boleh diabaikan apalagi sengaja dilanggar,” pungkas Arief dengan nada tegas.(pram/hans)